HUKUM PERDATA
Hukum
Perdata yang Berlaku di Indonesia
Hukum
di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan
hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana,
berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek
sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan
Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar
masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam
lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain
itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari
aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah
Nusantara.
Hukum perdata Indonesia
Salah
satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek
hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat
atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik
dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum
administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum
perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari,
seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian,
pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat
perdata lainnya.
Ada
beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut
juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon
(yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara
persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya
Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem
hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia
didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada
masa penjajahan.
Bahkan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia
tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau
dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di
Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk
Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai
1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di
Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata
(disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
*
Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga,
yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh
subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan
seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan
hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian
ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
* Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang
mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan
benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud
dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah,
bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak,
yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak
bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang).
Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan
tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria.
Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak
berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
* Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang
disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang
berbeda)), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek
hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang
terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan
perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara
pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab
undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD
berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah
bagian khusus dari KUHPer.
* Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek
hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam
hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Karena
Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini diusahakan supaya
dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya ialah dibentuk B.W.
Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan BW Belanda. Untuk
kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr.
C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki
kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di
negeri Belanda. Disamping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda
mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia
Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan
kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga
tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua
Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem.
Pada
31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi keua
panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing
sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil.Akhirnya dibentuk panitia
baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya
diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya panitia
inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka KUHPdt. Belanda
banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda dicontoh untuk
kodifikasi KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada
tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah
Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt.
Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang
baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga
Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata
Indonesia.
Pasal
2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945
Segala
Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang
dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi
seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah
hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan
Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah
dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya
mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang
Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
Sejarah membuktikan bahwa Hukum Perdata
yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas dari Sejarah Hukum
Perdata Eropa. Bermula di benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku
Hukum Perdata Ramawi, disamping adanya Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan
setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli
dari negara-negara di Eropa, oleh karena keadaan hukum di Eropa kacau-balau,
dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan sendiri, juga
peraturan setiap daerah itu berbeda-beda. Oleh karena adanya perbedaan ini
jelas bahwa tidak ada suatu kepastian hukum. Akibat ketidak puasan, sehingga
orang mencari jalan kearah adanya kepastian hukum, kesatuan hukum dan
keseragaman hukum.
Pada tahun 18o4 atas prakarsa
Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bemama
"Code Civil des Francais" yang juga dapat disebut "Code
Napoleon", karena Code Civil des Francais ini adalah merupakan sebagian
dari Code Napoleon, Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini dipergunakan
karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothies,
disamping itu juga dipergunakan Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jemonia dan Hukum
Cononiek.
Dan mengenai peraturan - peraturan
hukum yang belum ada di Jaman Romawi antara lain masalah wessel, assuransi,
badan-badan hukum. Akhimya pada jaman Aufklarung (Jaman baru sekitar abad
pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab Undang—Undang tersendiri dengan nama
"Code de Commerce". Sejalan dengan adanya penjajahan oleh bangsa
Belanda (18o9-181 1), maka Raja Lodewijk Napoleon Menetapkan : "Wetboek
Napoleon Ingerighr Voor het Koninkrijk Holland" yang isinya mirip dengan
"Code Civil des Francais atau Code Napoleon" untuk dljadikan sumber
Hukum Perdata di Belanda (Nederland).
Setelah berakhimya penjajahan dan
dinyatakan Nederland disatukan dengan Prancis pada tahun 1811, Code Civil des
Francais atau Code Napoleon ini tetap berlaku di Belanda (Nederland). Oleh Karena
perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda (Nederland)
dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengadakan kodifikasi
dari Hukum Perdatanya. Dan tepatnya 5 Juli 1830 kodefikasi ini selesai dengan
terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek van koophandle) ini
adalah produk Nasional- Nederland namun isi dan bentuknya sebagian besar sama
dengan Code Civil des Francais dan Code de Commerce.
Dan pada
tahun 1948, kedua Undang-Undang produk Nasional-Nederland ini diberlakukan di
Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum). Sampai sekarang kita kenal dengan nama
KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek). Sedangkan KUH Dagang untuk WVK
(Wetboek van koophandle).
KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Perkataan “hokum perdata”
dalam arti yg luas meliputi semua hukum “privat materiil” yaitu segala hukum
pokok yang mengatur kepentingan perseoarangan. Perkataan perdata juga lazim
dipakai sebagai lawan dari pidana, Ada juga orang memakai perkataan “hukum
sipil” untuk hukum privat materill itu, tetapi karena perkataan sipil itu juga
lazim dipakai sebagai lawan dari militer, maka lebih baik kita memakai istilah
“hukum perdata” untuk segenap peraturan hukum privat materiil.
Hukum perdata di Indonesia, ber-bhineka yaitu beraneka warna,
Pertama ia berlainan untuk segala golongan warga Negara:
1. Untuk
golongan bangsa Indonesia asli berlaku hukum adat.
2. Untuk
golongan warga Negara non asli yang berasal dari tionghoa dan eropa berlaku
KUHP( kitab undang-undang hokum pidana )/burgerlijk wetboek dan kitab
undang-undang hokum dagang/wetboek van koophandel, Tetapi untuk golongan lain seperti arab, india,
dllbelaku sebagian burgerlijk weboek yaitu pada pokoknya hanya bagian-bagian
yang mengenai hokum kekayan harta benda (vermogensrecht).
Contoh
kasus hukum perdata di Indonesia:
Kasus malpraktek
yang dituduhkan pada dokter dr.ottman sebagai doker di RS.karya medika cibitung
yang menangani pasien bernama fellina azzahra 16 bulan. Majelis kehormatan etik
kedokteraan (MKEK) akan memeriksa dokter yang bersangkutan atas tuduhan
tersebut . disebut malpraktek karna pertama bila tindakan dokter tersebut
bertentangan dengan etika dan moral, kedua bertentangan kode etik
kedokteran di Indonesia. Tetapi dari pihak rumah sakit disebut malpraktek
bila tindakan dokter bertentangan dengan standar profesi medikatau terbukti
menelantarkan pasien.
Pengacara RS. Juga mempersoalkan
lembaga yang berhak menyimpulakan apakah tindakan dokter malpraktek atau
bukan menurut nya yang berhak menyimpulkan adalah MKEK dan panitia
pertimbangan Pembinaan kedokteraan (P3EK). Contoh tanggung jawab hukum perdata,
kata Amir selaku konsultan RS.tersebut, biasanya soal ganti rugi materi.
Menurutnya, pasien itu, harus bisa membuktikan bahwa pihaknya benar-benar
dirugikan. Adapun caranya adalah benar ada tindakan salah dokter atau RS,
perbuatan dokter bertentangan dengan standar profesi, bertentangan dengan hukum
Dan
tindakan dokter tidak lazim dengan disiplin ilmunya. “Kalau empat ini bisa
dibuktikan pasien, silahkan mengajukan hukum perdata,”. Dari segi
perdata,persoalannya belum ada pemeriksaan dari MKEK tadi, pihak rumah sakit
juga belum dipanggil pihak kepolisian menurut konsultan RS, persoalan terlalu
cepat sementara koridor polisi belum sampai sana karena polisi juga harus minta
pertimbangan dari MKEK,. Dokter yang bersangkuan saat ini sudah dipanggil MKEK
untuk diperiksa, mengenai kapan diumukan hasilnya belum disebutkan. Jadi
menurut saya kondisi hukum perdata di Indonesia masih mengantung terlalu
lama meminta pendapat tetapi hukuman bagi yang bersalah masih abu-abu karena
belum terlalu terlihat dan hak-hak konsumen masih sering diabaikan. semoga
sistem hukum di Indonesia setelah 14 tahun telah revolusi harus ada perubahn
yang kongkret yang tidak tebang pilih, tegas dalam menindak sebuah kasus yang
merugikan siapapun itu.
Pengertian
dan Keadaan Hukum di Indonesia
Yang
dimaksud dengan Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara
perorangan di dalam masyarakat.
Perkataan
Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua Hukum Privat materiil dan
dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana. Untuk Hukum Privat
materiil ini ada juga digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum
digunakan nama Hukum Perdata saja, untuk segenap peraturan Hukum Privat
materiil.
Dan pengertian dari Hukum Privat adalah
hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di
dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan.
Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan
sesuatu pihak secara timbal balik dalam hubungan terhadap orang lain di dalam
suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat materiil, juga
dikenal Hukum Perdata Formiil yang lebih dikenal sekarang dengan HAP (Hukum
Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala
peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan
pengadilan perdata.
Didalam pengertian sempit kadang-kadang
Hukum Perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang.
Mengenai keadaan hukum perdata di
Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam.
Faktor yang mempengaruhinya antara lain :
1. Faktor
etnis disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat bangsa Indonesia, karena negara kita Indonesia ini terdiri dari berbagai
suku bangsa.
2. Faktor hysteria yuridis yang
dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan :
a.
Golongan eropa dan yang
dipersamakan
b.
Golongan bumi putera
(pribumi/bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan
c.
Golongan timur asing (bangsa cina,
India, arab)
Pasal 131.I.S. yaitu mengatur Hukum-hukum
yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 LS
diatas.
adapun hukum yang diberlakukan bagi
masing-masing golongan yaitu :
a. Golongan
Eropa dan yang di persamakan berlaku Hukum Perdata dan Hukum dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata
dan Hukum Daganga di negeri Belanda
berdasarkan azas konkordinasi.
b. Golongan
Bumi Putera berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dulu kala berlaku dikalangan rakyat,
dimana sebagian besar dari Hukum Adat tersebut belum
tertulis, tetapi hidup dalam
tindakan-tindakan rakyat.
c. Golongan
Timur Asing berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing
diperbolehkan untuk menundukan diri kepada
Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hukum tertentu saja.
Maksud untuk segala golongan warga negara
berlainan satu dengan yang lain, dapat kita lihat :
a. Golongan
bangsa Indonesia asli. Berlaku hukum adat yaitu yang sejak dulu berlaku di kalangan rakyat, hukum yang sebagian besar
belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan
rakyat mengenai segala hal di dalam kehidupan kita dalam masyarakat.
b. Golongan warga negara bukan asli yang
berasal dari Tionghoa dan Eropa. berlaku kitab
KUHP dan KUHD, dengan suatu pengertian bahwa bagi golongan Tionghoa ada suatu penyimpangan, yaitu pada bagian
2 dan 3 dari TITEL IV dari buku I tentang : Upacara
yang mendahului dan mengenai penahanan pernikahan. Hal ini tidak berlaku bagi golongan Tionghoa, karena
diberlakukan khusus yaitu Burgerlijke Stand dan peraturan mengenai pengangkatan anak.
Untuk
golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa
berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum
kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan
maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia
ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR
(Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :
i.
Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata
dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di
kodifikasi).
ii.
Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di
negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
iii.
Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan
kemasyarakatan mereka menghendakinya.
iv.
Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah
suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
v.
Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi
mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.
Berdasarkan
pedoman diatas, dijaman Hindia Belanda itu telah ada beberapa peraturan
Undang-Undang Eropa yang telah dinyatakan berlaku untuk bangsa Indonesia Asli,
seperti pasal 1601-1603 lama dari BW yaitu perihal :
a.
Perjanjian kerja Perburuhan : (Staatsblad 1879 no 256) pasal 1788-1791 BW
perihal hutang-hutang dari perjudian (straatsblad 1907 no 306)
b.
Beberapa pasal dari WVK yaitu sebagian besar dari hukum Laut (straatblad 1933
no 49)
Disamping
itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia
seperti :
a.
Ordonasi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (straatblad 1933 no 74)
b.
Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) straatblad 1939 no 570
berhubungan dengan 717.
Dan
ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara,
yaitu :
a. Undang-Undang Hak Pengarang
(Auteurswet tahun 1912)
b. Peraturan Umum tentang koperasi
(straatblad 1933 no 108)
c. Ordinasi Woeker (straatblad 1938 no
523)
d. Ordinasi tentang pengangkutan di Udara
(straatblad 1938 no 98)
Sistematika
Hukum Perdata di Indonesia
Sistematika Hukum Perdata
Hukum adalah
sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak
yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk
mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya
Salah satu bidang
hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan
antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil
sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu
(hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau
tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur
hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya
kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda,
kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem
hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga
memengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu
sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara
persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya
Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem
hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia
didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada
masa penjajahan.
Bahkan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak
lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal
dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan
wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang
saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum
perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis
dengan beberapa penyesuaian.
Sistematika Hukum Perdata itu ada 2,
yaitu sebagai berikut:
- Menurut Ilmu Hukum/Ilmu
Pengetahuan
- Menurut Undang-Undang/Hukum Perdata
Sistematika Menurt Ilmu Hukum/Ilmu
Pengetahuan terdiri dari:
- Hukum tentang orang/hukum
perorangan/badan pribadi (personen recht)
- Hukum tentang keluarga/hukum keluarga
(Familie Recht)
- Hukum tentang harta kekyaan/hukum
harta kekayaan/hukum harta benda (vermogen recht)
- Hukum waris/erfrecht
Sistematika hukum perdata menurut
kitab Undang-Undang hukum perdata
- Buku I tentang orang/van personen
- Buku II tentang benda/van zaken
- Buku III tentang perikatan/van
verbintenisen
- Buku IV tentang pembuktian dan
daluarsa/van bewijs en verjaring
Apabila kita
gabungkan sistematika menurut ilmu pengetahuan ke dalam sistematika menurut
KUHPerdata maka:
- Hukum perorangan termasuk Buku I
- Hukum keluarga termasuk Buku I
- Hukum harta kekayaan termasuk buku II
sepanjang yang bersifat absolute dan termasuk Buku III sepanjang yang bersifat
relative
Hukum waris termasuk Buku II karena
Buku II mengatur tentang benda sedangkan hokum waris juga mengatur benda dari
pewaris/orang yang sudah meninggal karena pewarisan merupakan salah satu cara
untuk memperoleh hak milik yang diatur dalam pasa 584 KUHperdata (terdapat
dalam Buku II) yang menyatakan sebagai berikut :
“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan
cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluarsa,
karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dank
arena penunjukan atau penyerahan, berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk
memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas
terhadap kebendaan itu
sumber: