Koperasi di Jepang (dengan sistem Komunis)
Koperasi pertama di Negeri Sakura dilahirkan pada 1897, tetapi baru pada 1920-an gerakan koperasi-koperasi mulai mengorganisir dengan skala yang lebih besar. Bersamaan dengan pelaksanaan Undang-Undang Industri dan Kerajinan. Dalam perkembangannya, koperasi di Jepang berkembang tidak hanya di bidang industri dan kerajinan, tetapi di sektor pertanian juga mengalami perkembangan yang pesat di awal-awal pertumbuhannya. Ada dua macam koperasi pertanian di Jepang. Pertama adalah yang bersifat khusus, hanya mengembangkan satu macam komoditas. Dan kedua adalah bersifat umum, yaitu yang bersifat serba usaha.
Setelah terbit Undang-Undang Koperasi Pertanian pada tahun 1974, koperasi pertanian, koperasi konsumsi dan bank koperasi semakin tumbuh dengan pesat dan menjadi andalan koperasi di Jepang. Di Jepang, koperasi konsumen mampu tumbuh 20 persen per tahun. Sejak awal, mereka menyediakan barang-barang yang sehat dan memuaskan konsumen. Motto bisnisnya: Untuk Perdamaian dan Suatu Kehidupan yang Lebih Baik. Lalu pada 1921 Koperasi Nada dan Koperasi Kobe didirikan di bawah kepemimpinan Toyohiko Kagawa, Bapak Gerakan Koperasi Konsumen. Kedua badan usaha ini bergabung atau amalgamasi menjadi Koperasi Nada Kobe koperasi di tahun 1962. Kemudian berubah nama lagi menjadi Koperasi Kobe pada 1991. Seiring perkembangannya, kedua koperasi menjadi kekuatan yang mengemudikan koperasi di Jepang.
Menurut Kagawa, tujuan pergerakan koperasi di Jepang terutama demi memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat miskin. Caranya, ia menganjurkan tujuh berkoperasi. Pertama, pembagian keuntungan yang saling menguntungkan. Kedua, perekonomian yang manusiawi. Ketiga, pembagian modal. Keempat, pembatasan eksploitasi. Kelima, desentralisasi kekuasaan. Keenam, kenetralan politik. Ketujuh, menekankan segi pendidikan.
Penyebaran koperasi yang ideal, menurut Kagawa adalah menolong orang merancang kebangkitan dirinya. Sayangnya, pemerintahan militer semasa Perang Dunia II di Negeri Para Samurai ini menentang koperasi. Akibatnya, koperasi bubar dan menghilang pada jaman itu.
Setelah Perang Dunia II, sejumlah pergerakan koperasi yang dirusak selama peperangan, memperbaiki diri. Banyak koperasi membuka kegiatan distribusi makanan ransum atau jatah. Sebab, kala itu memang terjadi kelangkaan serius hampir semua barang.
Kemudian pada 1948, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Koperasi Konsumen. Perkembangan berikutnya, pada 1951 didirikan Gabungan Koperasi Konsumen Jepang (Japanese Consumers’ Co-operative Union, JCCU), yang merupakan peletak dasar dan pendorong kemajuan koperasi. Presiden JCCU Isao Takamura menjelaskan, seiring kebangkitan ekonomi Jepang era 1950-an, sejumlah kebijakan mereorganisasi koperasi pun sering didiskusikan. Tema yang mendominasi diskusi, antara lain meliputi aspriasi atau kepentingan ekonomi para anggota. Juga sekitar manajemen bisnis koperasi.
Muncul gagasan agar koperasi mendasarkan pada kelompok kecil yang beranggota 5 sampai 10 orang. Cara ini memungkinkan para anggota bertukar pikiran intensif. Baik melalui aktifitas jual beli bersama, saling menolong dan mempromosikan koperasi mereka.
Di saat yang sama, pada kurun 1960 dan 1970-an, Jepang menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bahkan, cenderung tak terkendali. Buktinya, banyak problem yang menyerang konsumen. Misalnya, bahan pengawet dipakai membuat makanan yang diproduksi secara massal dan membahayakan kesehatan orang. Dengan cerdas, koperasi memanfaatkan situasi ini. Koperasi berupaya menyuplai produk alternatif dengan jaminan keselamatan dan makanan yang dapat diandalkan.
Kemudian datang krisis minyak di tahun 1973. Dampaknya, kelangkaan komoditi dan harga barang tiba-tiba meroket. Lagi-lagi di tengah kondisi sulit ini, koperasi memasok barang dengan harga logis kepada anggota. Manfatnya, para anggota semakin mempercayai koperasi. Pada gilirannya jumlah keanggotaan dan pertumbuhan koperasi menjamur luar biasa. Sayangnya, kemudian muncul tindakan anti koperasi dari segolongan kecil pedagang ritel (minor retailer). Kondisinya, di tahun 1980-an Jepang tengah berada pada pertumbuhan yang menguntungkan. Sebetulnya, para pedagang ritel itu sulit bersaing melawan peritel besar.
Koperasi pun terkena getah. Para pedagang ritel sampai mengusulkan kepada pemerintah untuk mencegah pembukaan toko-toko koperasi. Mereka juga menuntut pemerintah menjalankan Undang-Undang Koperasi Konsumen yang melarang penggunaan koperasi oleh bukan anggota. Pemerintah menanggapi dengan mengorganisasi satu panitia khusus dan mendiskusikan aktifitas yang tepat untuk koperasi. Keputusannya, koperasi sudah beroperasi sesuai kepentingan konsumen maupun Undang-undang Koperasi Konsumen. Jadi penyebab kesulitan keuangan para pengecer kecil, bukan karena koperasi.
Koperasi mengatasi kesulitan satu demi satu, dan sekarang mempunyai anggota sejulah 14 juta orang. Jumlah koperasi retail local, kurang lebih 9 juta. Artinya, mewakili 20 % dari seluruh tempat tinggal di Jepang. Sementara penjualan tahunan koperasi senilai 52,7 miliar Dolar AS. Mudah dipahami, perkembangan koperasi di Negeri Matahari Terbit ini makin mengesankan. Lahir sejumlah koperasi, dari Koperasi Kesehatan, Koperasi Asuransi hingga Koperasi Universitas. Para pendiri semua koperasi ini meyakini, mereka mewakili kepentingan ekonomi masyarakat, bertanggung jawab kepada masyarakat dan berupaya melakukan usaha secafra benar. Selain itu, misalnya di koperasi konsumen, kelembagaan koperasi membantu keberadaan dan kesejahteraan bersama pengecer kecil. Tujuannya, merevitalisasi ekonomi lokal dan memberikan kontribusi kepada komunitasnya.
Dari sisi keanggotaan, apa motif utama orang Jepang berkoperasi? Biasanya mereka memang membutuhkan barang-barang yang dibeli. Selain itu, mereka menginginkan aspek keselamatan dan sangat mengutamakan kualitas barang-barang. Sisi menarik lain, 90 persen anggota koperasi adalah wanita. Sebagian besar merupakan ibu rumah tangga. Mereka membeli produk koperasi, karena ingin memiliki makanan yang sehat untuk anak mereka. Itu sebabnya, koperasi di Jepang selalu berusaha menyediakan makanan yang sehat atau tanpa bahan pengawet. Bahkan selalu meneliti dan mencari Informasi mengenai barang, sebelum mereka menjualnya. Apalagi produk pertanian yang harus dijaga kesegarannya. Mereka mengirim langsung ke anggota, tanpa melalui pasar. Praktik ini sangat dikenal di Jepang. Produsen dan konsumen bertransaksi secara langsung mengenai makanan yang segar dan sehat. Produksi pertanian yang segar didukung secara kuat oleh anggota koperasi. Ini bisa terjadi, karena produsen dan konsumen bisa berkomunikaksi langsung dan mengetahui persis bagaimana proses produksi makanan.
sumber : kompasiana.com